Ketika Dengung Gergaji Mesin Redup, Hutan Teluk Bakung Bersemi Kembali

2 September 2025 20:33 WIB
Ilustrasi. (Insidepontianak.com/Gregorius)

KUBU RAYA, insidepontianak.com – Di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, suara gergaji mesin tak lagi membisingkan. Tapi, sudah terdengar seperti 'irama' karena telah bersahabat dengan telinga.

Bagaimana tidak? Setiap hari, chainsaw mengaung membabat pohon. Desa Teluk Bakung yang berpenghuni 266 KK, sebagain besar warganya berprofesi sebagai penebang kayu. Pekerjaan turun temurun menjanjikan cepat terima cuan.

“Sehari bisa dapat Rp150 ribu dari nebang kayu,” ungkap Sukarno, yang dulu penebang andal.

Namun, di balik keuntungan sesaat itu, ada jejak kerusakan yang membekas. Hutan yang menjadi jantung desa, terkikis. Kerusakan lingkungan semakin parah akibat aktivitas ilegal logging.

Titik Balik di Hutan Desa

Di tengah dilema, secercah harapan datang pada akhir 2019, untuk menyelamatkan hutan Desa Teluk Bakung dari ancaman deforestasi akibat penebangan pohon dengan alasan ekonomi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan 5.565 hektare Hutan Desa Teluk Bakung sebagai bagian dari skema program perhutanan sosial.

Kebijakan ini mengizinkan warga memanfaatkan hasil hutan melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Namun, dengan syarat: harus menjaga kelestarian berkelanjutan.

LPHD Teluk Bakung berpegang pada tiga pilar utama dalam pemanfaatan perhutanan sosial: kelola kelembagaan, kelola kawasan, dan kelola usaha.

Kelola kelembagaan dilakukan dengan membangun organisasi yang transparan. Kelola kawasan berfokus pada patroli rutin, reboisasi, dan pencegahan kebakaran.

Sedangkan kelola usaha dijalankan dengan membuka peluang ekonomi baru yang ramah lingkungan.

“Dengan tiga pilar ini, kami ingin masyarakat tidak hanya jadi penonton, tapi benar-benar pelaku utama dalam pengelolaan hutan,” jelas Nikosius, Sekretaris LPHD Teluk Bakung.

Ia optimistis, LPHD perlahan-lahan bisa mengikis ketergantungan warga pada kayu. Sekarang saja, warga desa sudah mulai meninggalkan profesi logger.

“Kalaupun masih ada yang menebang, biasanya itu dari warga luar desa,” tambahnya.

Jalan Baru Menuju Lestari

Untuk mengalihkan praktik penebangan pohon, LPHD Teluk Bakung menginisiasi program ekonomi 'silvopastura', sebuah sistem usaha yang mengintegrasikan kehutanan dengan peternakan.

Sebuah lembaga bernama Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Silvopastura Timawak Loncek pun dibentuk, dengan Sukarno--mantan penebang kayu andal--ditunjuk sebagai ketuanya.

Mereka memulai dengan beternak babi. Awalnya, setiap anggota KUPS hanya diberi bibit indukan satu ekor. Tapi hasilnya kini mulai terlihat.

Sukarno, yang awalnya hanya memiliki satu ekor, kini mengelola delapan babi. Secara keseluruhan, dari 15 ekor babi awal, populasinya meningkat pesat hingga mencapai 56 ekor. Meski belum ada babi yang dijual, Sukarno melihat ini sebagai investasi jangka panjang.

“Kalau nebang, hasilnya cepat. Tapi babi ini adalah tabungan untuk masa depan,” katanya.

Selain memiliki nilai ekonomi, ternak babi juga punya arti penting dalam ritual adat masyarakat Dayak Teluk Bakung, sehingga permintaannya terbilang stabil.

Selain membentuk program silvopastura, LPHD juga menggarap program agroforestri. Ratusan bibit petai, jengkol, dan pinang ditanam, serta ada rencana menanam kelapa genjah entok di lahan-lahan kritis bekas kebakaran.

“Kami ingin hutan tetap hijau, tapi masyarakat juga dapat hasil,” kata Dinatus Dino, anggota kelompok agroforestri.

Perjalanan Belum Usai

Transformasi ini tidak berjalan sendirian. Organisasi SAMPAN Kalimantan hadir sebagai pendamping, memberikan dukungan teknis dan memperkuat kelembagaan warga.

Kolaborasi menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat untuk mengambil peran sebagai penjaga hutan. Kini, perubahan itu masih berproses.

Suara gergaji masih sesekali terdengar di tepi hutan. Namun, di sela-sela raungannya, muncul suara lain: lenguhan babi dari kandang-kandang sederhana, serta tunas-tunas muda yang mulai tumbuh di lahan kritis.

Semua itu adalah tanda bahwa masyarakat Teluk Bakung sedang menapaki jalan panjang transisi. Sebuah perjalanan dari ketergantungan pada kayu menuju usaha yang lestari.

Dari sekadar pengguna hutan menjadi penjaga sekaligus pemanfaatnya. Ini adalah perjalanan yang mungkin belum berbuah besar hari ini, tetapi menyimpan harapan besar untuk masa depan desa dan hutannya.***


Penulis : Gregorius
Editor : Abdul Halikurrahman

Leave a comment

huja

Berita Populer

Seputar Kalbar