Soroti Status Tanah Warga Perbatasan, Maurus: Apakah Kita Sudah Benar-Benar Merdeka?

14 Agustus 2025 13:43 WIB
Ilustrasi PLBN Aruk Sambas/IST

SAMBAS, insidepontianak.com – Ketua Pemuda Dayak Kabupaten Sambas, Maurus Yayan, mengajak seluruh pihak merenungkan kembali makna kemerdekaan di usia 80 tahun Republik Indonesia. 

Ia menilai, meski pembangunan di wilayah perbatasan seperti PLBN Aruk tampak maju, masih ada masalah mendasar yang belum terselesaikan, khususnya terkait hak kepemilikan tanah warga.

“Delapan puluh tahun sudah kita menghirup udara kemerdekaan. Kita bangga menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka, berdiri tegak di bawah merah putih, dan menyanyikan Indonesia Raya dengan dada bergetar. Namun, mari kita jujur pada diri sendiri, apakah semua rakyat Indonesia benar-benar telah merdeka?” kata Yayan, Kamis (14/8/2025).

Ia mengatakan, wajah pembangunan di perbatasan kini terlihat indah dengan jalan mulus, jembatan yang menghubungkan desa, teknologi yang masuk hingga pelosok, serta ekonomi dan pertanian yang mulai bergerak. 

“Semua ini patut kita syukuri,” ujarnya.

Namun di balik kemajuan tersebut, Yayan menyoroti fakta bahwa sebagian masyarakat tinggal di tanah yang secara turun-temurun mereka huni, tetapi tidak memiliki kepastian hukum karena berada di kawasan berstatus hutan lindung, taman wisata alam, atau hutan produksi.

“Mereka hidup di tanahnya sendiri, namun tak diakui kepemilikannya. Status kawasan ini menutup pintu bagi mereka untuk mendapatkan sertifikat hak milik, meski kaki dan keringat mereka telah menghidupi tanah itu jauh sebelum Indonesia berdiri,” tegasnya.

Menurutnya, pelepasan kawasan hutan bagi pemukiman lama bukan sekadar masalah administrasi, melainkan menyangkut martabat bangsa. Ia mengingatkan, UUD 1945 menjamin perlindungan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak atas tanah.

“Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan. Merdeka berarti rakyat berdaulat atas tanahnya, hidup sejahtera di rumahnya sendiri, dan tidak lagi merasa sebagai tamu di tanah kelahirannya,” katanya. 

Sebelumnya Dewan Adat Dayak atau DAD Kecamatan Sajingan Besar, Kabuaten Sambas, juga meminta pemerintah membebaskan kawasan hutan yang masuk dalam pemukiman, kampung-kampung, dan lahan pertanian warga di empat desa.

Empat desa yang dimaksud adalah, desa Sungai Bening, Desa Sanatab, Desa Santaban, dan Desa Kaliau.  

Ketua DAD Sajingan Besar, Jamel mengatakan, di Desa Sungai Bening, terdapat Taman Wisata Alam (TWA), hutan lindung, serta Areal Penggunaan Lain (APL). 

Sementara di Desa Sanatab, kawasan hutan terdiri dari hutan lindung dan APL.

Adapun Desa Kaliau terdapat APL, hutan lindung, Hutan Produksi (HP), dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Sedangkan di kawasan Desa Sebunga, terdapat APL.  

"Dalam hal ini, masyarakat sangat mengharapkan agar kawasan yang berada di pemukiman dan lahan pertanian dapat dibebaskan. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat di wilayah ini belum memiliki sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati dan kelola, " katanya. 

Ia menekankan bahwa pembebasan kawasan hutan lindung yang telah menjadi pemukiman akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. 

Kepemilikian sertifikat hak milik atas lahan sangat diperlukan warga agar bisa memperoleh berbagai program pemerintah terkait pertanahan dan kesejahteraan masyarakat.  

"Dengan adanya sertifikat, masyarakat bisa lebih tenang dalam bertani. Ini masukan langsung dari kami selaku perwakilan masyarakat adat di Kecamatan Sajingan Besar," pungkasnya. 


Penulis : Antonia Sentia
Editor : Wati Susilawati

Leave a comment

huja

Berita Populer

Seputar Kalbar