Buruh Sawit Perempuan Masih Terpinggirkan, Yublina Yuliana Ungkap Ancaman Kesehatan hingga Ketidakadilan Upah

12 September 2025 15:52 WIB
Ilustrasi buruh perempuan sawit/IST

PONTIANAK, insidepontianak.com – Paparan pestisida berbahaya yang masih digunakan banyak perusahan membuat angka kecelakaan kerja buruh perempuan pekerja kebun kelapa sawit terus melonjak.

Faktanya, asap tipis cairan pestisida yang disemprotkan di perkebunan sawit itu seolah tak terlihat. Namun mematikan. Tak hanya menyebabkan iritasi kulit, namun juga gangguan kesuburan, hingga risiko kanker yang mengancam pekerja. 

Ketua Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar Yublina Yuliana, mengungkapkan pekerja perempuan kerap menghadapi diskriminasi upah, lemahnya perlindungan kerja, hingga ancaman kesehatan serius akibat paparan bahan kimia.

“Pekerjaan mereka sama beratnya dengan laki-laki, tapi upahnya berbeda. Bahkan hak normatif seperti cuti haid dan cuti melahirkan sering tidak diberikan, terutama bagi pekerja harian lepas atau kontrak,” ujarnya saat kegiatan dialog Multi-Pihak, Membangun Komitmen Bersama untuk Pekerjaan Layak di Industri Kelapa Sawit yang digelar di Golden Tulip, Jumat (12/9/2025). 

Menurut Yublina, buruh perempuan sering kali berhadapan langsung dengan pestisida dan bahan kimia berbahaya tanpa perlindungan memadai. 

Dampaknya bisa sangat fatal, mulai dari iritasi kulit, gangguan kesuburan, hingga risiko kanker.

“Banyak kasus ibu-ibu yang setelah bekerja dengan bahan kimia menjadi mandul. Ada juga yang terkena penyakit kulit atau kanker. Sayangnya, perusahaan sering menolak tanggung jawab dengan alasan penyakit itu bawaan sejak sebelum bekerja,” ungkapnya.

Ia menekankan, seharusnya perusahaan mewajibkan pemeriksaan kesehatan sebelum pekerja diterima. Namun, praktik itu masih jarang dilakukan. Meski beberapa perusahaan sudah menyediakan alat pelindung diri (APD), Yublina menilai fasilitas itu sering tidak sesuai standar nasional. 

Akibatnya, banyak buruh enggan menggunakan APD karena dirasa tidak nyaman dengan kondisi iklim tropis Kalbar.

“Misalnya sarung tangan panas, kaca helm berembun. Akhirnya tidak dipakai. Perusahaan hanya sekadar menyediakan, tapi tidak menyesuaikan dengan kebutuhan buruh di lapangan,” jelasnya.

Masalah lain adalah kesenjangan upah. Buruh laki-laki yang berstatus karyawan tetap biasanya mendapatkan tunjangan, sementara buruh perempuan tidak, meski beban kerja sama.

“Seharusnya upah sesuai UMK berlaku sama. Tapi kenyataannya, perempuan tidak dapat tunjangan yang diterima pekerja laki-laki,” tegas Yublina.

Disisi lain, Yublina menyebut kasus kecelakaan kerja di perkebunan sawit masih tinggi dari tahun ke tahun. Penyebabnya beragam, mulai dari minimnya kesadaran pekerja dalam menggunakan APD hingga kelalaian perusahaan yang tidak menyediakan perlindungan sesuai standar.

“Biasanya perusahaan baru sibuk memenuhi standar ketika ada sertifikasi ISPO atau RSPO. Di luar itu, perlindungan buruh masih lemah,” tandasnya.

Belum Sejahtera

 Koordinator SBSI, Ismed Inoni, menyampaikan kondisi buruh sawit di wilayah perkebunan sawit terbesar kedua di Indonesia jauh dari kata sejahtera. 

Menurut Ismed, upah minimum di Kalbar baik upah minimum kabupaten maupun sektoral, adalah yang terendah dari beberapa provinsi di Kalimantan.

"Mereka digaji hanya sekitar 2,8 juta per bulan, jadi paling tinggi sekitar 3,3 juta sampai Rp 3,6 juta,"ungkapnya. 

Menurutnya, pendapatan tersebut, terendah dari beberapa provinsi di Kalimantan. Selain upah, Ismed juga menyoroti masalah status kerja yang rentan, terutama bagi buruh perempuan yang banyak berstatus buruh harian lepas (BHL) dan tidak diangkat jadi karyawan tetap. 

Masalah lain yang tak kalah penting adalah isu kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Menurutnya, ancaman paparan racun itu juga tinggi dan yang bekerja di bagian-bagian bersentuhan langsung dengan bahan kimia termasuk racun itu adalah buruh perempuan.

Ancaman Berbahaya Pestisida   

Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (FSPBI) menyoroti penggunaan bahan kimia berbahaya dalam sektor kelapa sawit di Indonesia, yang dinilai sebagai ancaman serius, tidak hanya bagi kesehatan buruh, tetapi juga bagi keberlanjutan ekonomi nasional.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat, Serikat Buruh Perkebunan Indonesia, Loren Aritonang, mengungkapkan bahwa buruh dari Kolombia dan Ghana telah berhasil mengadvokasi pelarangan penggunaan bahan kimia seperti Paraquat, yang dapat menyebabkan penyakit kanker, tumor, dan gangguan kesehatan lainnya.

"Di sana (Ghana dan Kolombia), pemerintah sudah mendukung advokasi ini. Namun, di Indonesia, masih banyak penggunaan bahan kimia berbahaya yang lolos dari pengawasan pemerintah," ujar Loren.

Menurutnya, penggunaan bahan kimia yang dilarang di negara lain ini merupakan bagian dari upaya advokasi FSPBI. Isu ini menjadi semakin mendesak mengingat adanya ancaman dari pasar global.

Loren menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan besar, seperti Bayer di Belanda, mulai membatasi produk kelapa sawit yang diproduksi dengan menggunakan bahan kimia berbahaya.

"Ini menjadi ancaman serius. Jika CPO (minyak sawit mentah) kita ditolak, buruh akan sengsara, pemerintah tidak mendapatkan pendapatan, dan perusahaan bisa tutup," pungkas Loren, 

Dorong Perda Perlindungan

Direktur Eksekutif LinkAR Borneo, Ahmad Syukri mengatakan, meskipun sektor kelapa sawit memberikan kontribusi besar bagi perekonomian, masalah kesejahteraan buruh masih kerap terabaikan. 

“Beberapa persoalan seperti kesejahteraan, K3 [Kesehatan dan Keselamatan Kerja], serta perlindungan terhadap anak dan keluarga buruh masih sering terabaikan oleh perusahan dan pemerintah,” jelas Syukri.

Melalui serangkaian pertemuan internasional, Lingkar Borneo mengajak semua pihak  pemerintah, perusahaan, dan buruh sawit untuk mengawal penyusunan Perda ini. 

Tujuannya adalah agar Perda tersebut dapat menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak buruh sawit di Kalbar.

Syukri berharap, keberhasilan Perda di tingkat provinsi ini dapat menjadi landasan untuk mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Sawit di tingkat nasional. (Andi)


Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : Wati Susilawati

Leave a comment

huja

Berita Populer

Seputar Kalbar