Sopir Angkutan Keluhkan Harga Solar Melebihi HET, Distribusi Barang Jadi Terhambat

26 Juni 2025 14:44 WIB
Mobil angkutan barang yang melintas di ruas Jalan Major Alianyang, Kabupaten Kubu Raya. (Insidepontianak.com/Gregorius)

PONTIANAK, insidepontianak.com – Ketidakstabilan harga dan terbatasnya kuota BBM jenis solar bersubsidi di sejumlah SPBU di Kalimantan Barat, tuai keluhan dari para sopir angkutan barang.

Kondisi ini secara langsung berdampak pada membengkaknya biaya operasional dan terhambatnya distribusi logistik ke berbagai daerah.

Muhammad Ali, seorang sopir angkutan barang asal Mempawah, mengungkapkan kekecewaannya.

Ia menyebut bahwa, Harga Eceran Tertinggi (HET) solar yang seharusnya Rp6.800 per liter tidak lagi konsisten diterapkan di lapangan.

“Terkadang ada yang Rp8.500, bahkan lebih. Setiap SPBU beda-beda. Ada juga yang pakai sistem pembatasan,” keluh Ali, yang juga ikut dalam aksi unjuk rasa bersama ratusan sopir di Bundaran Alianayang Kubu Raya, pada Kamis (27/6/2025).

Menurut Ali, meskipun beberapa SPBU ada yang menerapkan harga sesuai HET, pembelian solar sering kali dibatasi secara signifikan.

“Kadang cuma dikasih 30 sampai 50 liter, padahal kebutuhan bisa 200 liter. Bahkan ada SPBU yang jual dari nol dengan harga Rp9.000 sampai Rp9.500 per liter,” tambahnya.

Ali menegaskan bahwa situasi ini berdampak langsung pada keterlambatan distribusi barang.

Keterbatasan pasokan BBM dan sulitnya memperoleh harga sesuai HET membuat para sopir harus memutar-mutar mencari solar, membuang waktu dan menambah biaya.

“Kami ini sopir jadi terkendala waktu. Belum lagi biaya operasional membengkak karena harus mutar-mutar cari solar. Kalau BBM mudah didapat dan sesuai harga, distribusi juga lancar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ali memprediksi bahwa kenaikan harga BBM ini juga berpotensi memicu lonjakan harga barang di daerah terpencil.

“Karena lama di jalan, ongkos naik, harga barang ikut naik. Padahal, kalau solar sesuai harga, bisa saja selisih harga antara kota dan desa itu tak terlalu jauh,” kata Ali.

Permasalahan semakin kompleks karena sistem perhitungan tarif angkut borongan masih mengacu pada harga solar HET, yang dalam praktiknya sulit didapatkan.

“Sistem kita borongan, dihitung dari harga HET. Tapi solar sesuai HET itu sulit kami dapat. Kalaupun dapat, perlu waktu lama,” jelasnya.

Menanggapi keluhan sopir, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berkomitmen untuk menangani masalah BBM.

Komitmen ini bahkan telah ditandatangani dalam surat pernyataan saat aksi demo sopir di Bundaran Tugu Alianyang, hari ini.

Dalam surat tersebut, Harisson berjanji akan menyelesaikan permasalahan BBM di Kalbar dalam jangka waktu satu bulan ke depan.

Namun, para sopir berharap komitmen ini dapat segera terealisasi. Ali berharap pemerintah dan pihak terkait dapat memberikan perhatian serius terhadap persoalan distribusi BBM.

Khususnya solar bersubsidi, agar roda ekonomi di daerah tidak terhambat dan masyarakat tidak semakin terbebani dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.***


Penulis : Gregorius
Editor : Abdul Halikurrahman

Leave a comment

Ok

Berita Populer

Seputar Kalbar