Dapur SPPG Yayasan Adinda Karunia Ilahi Dinonaktifkan Sementara

PONTIANAK, insidepontianak.com – Insiden keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di SDN 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, berujung pada penghentian operasional dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dikelola Yayasan Adinda Karunia Ilahi.
Yayasan tersebut disebut-sebut diprakarsai oknum pejabat, dikelola oleh orang kepercayaan. Sejak seminggu berdiri, dapur itu sudah menimbulkan petaka.
Sebanyak 25 siswa sakit usai menyantap menu MBG berupa nugget berbahan ikan hiu dan sayur yang disajikan. 16 orang harus dilarikan ke RSUD dr Agoesdjam karena kondisi memburuk, dengan keluhan sakit perut dan muntah-muntah, pada Selasa kemarin.
“Jika terbukti hasil laboratorium nanti dinyatakan makanan yang jadi penyebab keracunan, maka akan ditutup permanen. Tapi saat ini kita nonaktifkan dulu sementara, sambil menunggu hasil investigasi,” tegas Agus Kurniawai, Kepala Regional MBG Kalbar, mengutip keterangannya di video yang diunggah di laman Facebook Sorot10news.
Sebagai penanggungjawab, ia meminta maaf atas insiden tersebut. Menu ikan hiu yang disajikan diakui jelas kelalaian. Di sisi lain sertifikat kelayakan operasional dapur SPPG kini tengah diselidiki.
“Kepala SPPG sendiri, per tadi malam sudah saya copot dari jabatannya,” tegasnya.
Gubernur Murka
Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, ikut marah atas insiden keracunan tersebut. Baginya, peristiwa ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan ancaman keselamatan anak.
“Anak-anak keracunan. Untung masih bisa diselamatkan. Kalau sampai ada yang meninggal dunia, itu masalah serius,” ujarnya dengan nada geram.
Norsan menyebut lemahnya koordinasi program MBG di Kalbar. Keberadaan koordinator MBG di daerah hanya muncul saat terjadi masalah.
“Dicari sulit. Bahkan saya harus telepon langsung kepala MBG pusat. Jangan sampai Pemda dijadikan tameng ketika masalah meledak,” sindirnya.
Fakta lapangan menunjukkan dapur SPPG belum memiliki sertifikat laik higiene. Kepala sekolah SDN 12 Benua Kayong, Dewi Hardina, menduga sayur basi menjadi penyebab keracunan.
“Naget ikan hiunya memang amis. Sayurnya sempat dipanaskan ulang. Itu yang membuat anak-anak sakit,” jelasnya.
Orang tua murid pun panik. Asri Yani, salah satu wali siswa, pun mendesak pengawasan ketat terhadap pelaksanaan MBG.
“Jangan sampai anak-anak jadi korban lagi karena kelalaian,” tegasnya di rumah sakit
Klarifikasi Yayasan
Sebelumnya, Hefni Maulana, pengelola MBG dari Yayasan Adinda Karunia Ilahi, berharap semua pihak bersabar menunggu hasil uji laboratorim, sekaligus meminta maaf atas insiden tersebut.
Ia pun menegaskan, sampai saat ini belum ada bukti kuat yang menyatakan menu MBG yang disajikan jadi penyebab keracunan.
“Hasil uji sementara Dinas Kesehatan menyatakan makanan aman. Kalau memang keracunan, seharusnya semua sekolah penerima MBG terdampak. Faktanya, hanya satu sekolah,” bantahnya.
Namun, argumen itu gagal meredam kritik publik. Sebab, fakta yang tak terbantahkan ialah puluhan anak mengalami gejala akut, tak lama setelah menyantap menu yang sama.
Terkait isu keterlibatan pejabat dalam yayasan, Hefni belum memberi jawaban. Konfirmasi yang diajukan jurnalis Insidepontianak.com pun belum direspons.
Tidak Etis
Di luar dugaan kelalaian teknis, kasus ini menyingkap persoalan lebih besar: konflik kepentingan. Bagaimana mungkin seorang pejabat sekaligus pemegang kendali kebijakan daerah menjadi penyedia jasa dalam proyek pemerintah pusat? Zulkarnaen, akademisi Fisipol Untan, menilai hal itu jelas tidak etis.
“Jika pejabat terlibat langsung dalam penyedia MBG, risiko konflik kepentingan terbuka lebar. Proses tender harusnya transparan, bukan dikendalikan elit,” kritiknya.
Insiden keracunan MBG di Benua Kayong seharusnya menjadi alarm keras. Program yang lahir dari niat baik, mencegah stunting dan memperbaiki gizi anak sekolah, justru terancam menjadi bencana kesehatan massal.
Tanpa pengawasan ketat, tanpa standar higienitas, dan selama proyek tetap dikuasai jaringan politik, risiko kegagalan program hanya tinggal menunggu waktu.***
Penulis : Abdul/Greg/Dina
Editor : Abdul Halikurrahman
Leave a comment