Koalisi untuk Keadilan Desak Polda Kalbar Hentikan Kriminalisasi Kepala Adat Tarsisius Fendy

15 Desember 2025 13:23 WIB
IlustrasiKoalisi untuk Keadilan Fendy Sesupi (KAFS) mendatangi Polda Kalimantan Barat mendesak penghentian proses hukum yang menjerat Kepala Adat Tarsisius Fendy. (Insidepontianak.com/Andi Ridwansyah)

PONTIANAK, insidepontianak.com — Koalisi untuk Keadilan Fendy Sesupi (KAFS) mendatangi Polda Kalimantan Barat, Senin (15/12/2025) pagi.

Mereka mendesak seluruh proses hukum terhadap Kepala Adat Dusun Lelayang, Tarsisius Fendy Sesupi.

KAFS menilai langkah aparat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak ulayat yang diserobot PT Mayawana Persada.

“Kapolda Kalbar dan Kapolres Ketapang harus menghentikan seluruh proses hukum terhadap Tarsisius Fendy Sesupi,” tegas Juru Bicara KAFS, Yetno.

Menurut Yetno, perkara yang menjerat Fendy sarat kejanggalan. Fendy adalah kepala adat yang membela tanah ulayat.

Namun ia justru dijerat pasal pemerasan dan penganiayaan berdasarkan laporan PT Mayawana Persada.

Mereka pun menganggap kasus yang menjerat Fendy bukan perkara hukum biasa. Tapi sebagai upaya sistematis membungkam perjuangan masyarakat adat.

Konflik bermula saat PT Mayawana Persada menggusur lahan warga Dusun Lelayang. Alat produksi dirusak. Sumber penghidupan hilang.

Warga melawan melalui aksi dan tuntutan tanggung jawab perusahaan. Mediasi digelar pada 3 Desember 2023.

Dalam pertemuan itu, masyarakat menjatuhkan sanksi adat kepada perusahaan atas pelanggaran adat dan perusakan wilayah.

Perusahaan menyatakan sanggup membayar sanksi adat dan berjanji menyelesaikan konflik pada 5 Desember 2023. Janji itu tak pernah ditepati.

Alih-alih menuntaskan masalah, koalisi menilai perusahaan justru mendorong kriminalisasi. Pada 14 Januari 2024, Fendy dan satu warga lain menerima surat klarifikasi dari Polres Ketapang atas dugaan pemerasan dan ancaman, Pasal 368 dan 335 KUHP.

Yetno menyebut tuduhan itu tidak berdasar. Tidak ada pemerasan. Sanksi adat juga tidak hanya dijatuhkan di Dusun Lelayang, tetapi di sejumlah dusun lain yang terdampak aktivitas perusahaan.

“Sanksi adat adalah akumulasi pelanggaran PT Mayawana terhadap masyarakat adat. Tapi dipelintir menjadi pemerasan,” ujarnya.

Koalisi juga menyoroti penetapan Fendy sebagai tersangka hingga masuk Daftar Pencarian Orang sejak Oktober 2025. Proses itu dinilai cacat prosedur.

Upaya penjemputan paksa dilakukan pada 9 Desember 2025 tanpa pemberitahuan kepada kuasa hukum dan tanpa surat panggilan sebelumnya.

Lebih janggal lagi, surat panggilan tersangka pertama baru diterima pada 9 Desember 2025 dengan jadwal pemeriksaan 15 Desember 2025.

“Ini mencederai prinsip keadilan,” tegas Yetno.

Atas dasar itu, KAFS menyatakan aksi ini sebagai perlawanan terhadap kriminalisasi pembela masyarakat adat.

“Bang Fendy bertindak atas nama masyarakat adat, bukan kepentingan pribadi. Karena itu kami menuntut seluruh proses hukum dihentikan,” pungkasnya.***


Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : -

Leave a comment

ok

Berita Populer

Seputar Kalbar