Ini Enam Raperda Inisiatif DPRD Kalbar untuk Genjot PAD yang Anjlok

PONTIANAK, insidepontianak.com - Pendapatan daerah Kalimantan Barat yang diperkirakan merosot dari Rp6 triliun, menjadi Rp5,9 triliun pada 2026, dinilai sebagai ancaman serius bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Menanggapi situasi tersebut, Dewan DPRD Kalbar mengambil langkah proaktif dengan mengusulkan enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif.
Langkah strategis ini bertujuan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perkebunan dan pertambangan yang selama ini dinilai belum tergarap maksimal.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalbar, Suib, menekankan, meski sektor perkebunan dan pertambangan memiliki potensi pendapatan yang besar, namun penerimaan pajaknya jauh dari harapan.
"Sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, kami memulai dari regulasi untuk mengoptimalkan pendapatan," tegas Suib.
Ia menyoroti sistem pungutan pajak yang tidak jelas di Kalbar, berbeda dengan daerah lain yang telah memiliki regulasi yang lebih menguntungkan. Selain itu, Suib juga menyoroti penurunan drastis dana bagi hasil (DBH) sawit yang semakin menggerus pendapatan daerah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Komisi III DPRD Kalbar mengusulkan enam Raperda inisiatif yang diharapkan menjadi terobosan baru. Berikut adalah rincian dari enam Raperda tersebut:
Pertama, Raperda Pembentukan Kantor Cabang Perusahaan PMA dan PMDN. Raperda ini diusulkan untuk mengatasi anomali di mana banyak perusahaan besar di Kalbar, seperti perkebunan dan pertambangan, memiliki kantor pusat di luar daerah.
"Sehingga transaksi keuangan mereka tidak melalui daerah, artinya mereka tidak memiliki NPWP di provinsi, sehingga kita tidak mendapatkan retribusi atau pendapatan," ucap Suib.
Dengan adanya Raperda ini, perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) diwajibkan membuka kantor cabang dan memiliki NPWP di Kalbar. Tujuannya agar seluruh aktivitas keuangan investasi terpusat di Bank Kalbar, sehingga potensi pajak dan retribusi dapat tergarap.
Kedua, Raperda Royalti Sumber Daya Alam. Raperda ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025.
Fokusnya adalah mengelola royalti dari sektor pertambangan, khususnya bauksit dan emas, yang selama ini belum terkoordinasi dengan baik.
Suib membandingkan dengan daerah lain seperti Kalimantan Timur yang berhasil meraup hingga Rp5-6 triliun dari royalti pertambangan karena memiliki regulasi sendiri.
"Selama ini kita hanya menerima DBH. Sementara DBH Kalbar hanya mendapat Rp77 miliar lebih," katanya, menunjukkan ketidakseimbangan yang perlu segera diperbaiki
Ketiga, Raperda Dana Bagi Hasil Pajak. Tujuan Raperda ini adalah mengatur persentase DBH pajak secara lebih jelas, terutama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan PPH Pasal 21.
Dengan regulasi yang tegas, diharapkan Badan Penerimaan Pajak (BJP) dapat bekerja lebih efektif. Suib menegaskan, meski DBH ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak boleh pasif.
"Kita harus mengetahui persentase jelas sehingga harus mengatur secara regulasi persentase itu," jelasnya.
Keempat, Raperda Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Raperda ini dinilai sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara pendapatan daerah dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh investasi.
Dengan DBH yang hanya Rp77 miliar lebih, Kalbar menanggung beban kerusakan infrastruktur akibat mobilisasi angkutan dan kerusakan lingkungan yang tidak sebanding.
"Tidak seimbang dengan kondisi infrastruktur yang rusak akibat mobilisasi angkutan dan rusaknya lingkungan," tegas Suib.
Kelima, Raperda Dana Bagi Hasil Lainnya. Raperda ini bertujuan menciptakan keadilan dalam pembagian hasil pajak sawit dari pemerintah pusat.
Suib menyoroti DBH sawit yang diterima Kalbar pada 2025 hanya Rp23 miliar, angka yang dinilai tidak optimal mengingat kerusakan lingkungan dan infrastruktur jalan yang diakibatkannya.
Penurunan drastis dari tahun ke tahun (Rp65 miliar pada 2023 dan Rp58 miliar pada 2024) juga menjadi perhatian. Penurunan ini disebabkan oleh kebijakan pembatasan ekspor, padahal produksi sawit di Kalbar terus meningkat.
Keenam, Revisi Raperda Penanaman Modal. Raperda ini merupakan revisi dari Perda Nomor 4 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal.
Revisi akan mengatur pemakaian rekening agar seluruh aktivitas keuangan investasi terpusat di Bank Kalbar, sejalan dengan tujuan dari Raperda Pembentukan Kantor Cabang Perusahaan PMA dan PMDN.
Dengan diusulkannya keenam Raperda inisiatif ini, DPRD Kalbar menunjukkan komitmennya untuk mengatasi permasalahan pendapatan daerah yang anjlok.
Langkah ini diharapkan tidak hanya mengoptimalkan PAD, tetapi juga menciptakan regulasi yang lebih adil dan berkelanjutan bagi Kalimantan Barat.***
Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : -
Tags :

Leave a comment