Amnesty Sebut Penangkapan Mahasiswi ITB Kriminalisasi dan Membangkang MK

PONTIANAK, insidepontianak.com – Amnesty International Indonesia menganggap tindakan Polri menangkap mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, bentuk kriminalisasi.
Adapun SSS ditangkap karena membuat dan mengunggah meme bergambar Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto seperti orang berciuman.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai, meme itu bentuk kebebasan ekspresi kritikan di ruang digital, atas isu matahari kembar.
Karena itu, baginya, di negara yang menganut sistem demokrasi, ekspresi seberapapun ofensif, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana.
Argumentasi ini didasari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 115/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada tanggal 29 April 2025.
Putusan itu tegas menyatakan, keributan atau kerusuhan di ruang digital, seperti media sosial, tidak termasuk dalam delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa frasa ‘kerusuhan’ dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE, tidak memiliki ukuran atau parameter yang jelas dalam konteks penyebaran informasi digital.
MK juga berpendapat bahwa kerusuhan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital.
Dengan putusan itu, MK menegaskan bahwa, kritik, opini tajam, atau pernyataan keras di media sosial tidak dapat langsung dikategorikan sebagai penyebab ‘kerusuhan’ yang dapat dipidana, kecuali jika menimbulkan dampak nyata berupa gangguan ketertiban umum di dunia nyata.
Atas dasar itu, Usman menganggap, penangkapan mahasiswi tersebut bentuk kriminalisasi dan pembangkangan Polri atas putusan MK.
Sikap ini dinilai mencerminkan praktik otoriter aparat yang menerapkan respons represif di ruang publik, dengan menggunakan argumen kesusilaan.
“Karena itu, Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK,” desak Usman.
Ia juga menegaskan, kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi, baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945.
Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, namun standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan.
“Lembaga negara sendiri termasuk Presiden bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia,” tegasnya.
Bagi Usman, kriminalisasi di ruang ekspresi sebagaimana yang dialami mahasiswi tersebut, akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat, dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.
“Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik,” katanya.
Terkahir, Usman mengingatkan, kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum mahasiswi tersebut. Tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarganya.
“Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” sebutnya.
Diberitakan pada Jumat (9/5/2025), Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko menyampikan mahasiswi pembuat dan pengunggah meme bergambar Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden ke-8 Prabowo Subianto 'berciuman' telah diamankan.
"Benar, seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses," kata Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko mengutip Antara.
Mahasiswi tersebut dianggap melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.***
Penulis : Redaksi/ril
Editor : Abdul Halikurrahman
Leave a comment