Jeritan Warga Kualam Hilir di Parlemen Kalbar, Tanah Adat Tergusur HTI Mayawana Persada

23 September 2025 16:19 WIB
Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Barat, Fransiskus Ason foto bersama dengan masyarakat Dusun Lelayang, Desa Kualam Hilir, Simpang Hulu, Ketapang usai menerima audiensi terkait keluhan mereka yang merasa hak atas tanah adat tergusur ekspansi HTI Mayawana Persada. (Insidepontianak.com/Andi Ridwansyah)

PONTIANAK, insidepontianak.com – Pagi di Dusun Lelayang, Desa Kualam Hilir, Simpang Hulu, Ketapang, dulu selalu riuh oleh suara anak-anak berlarian ke ladang, para ibu menumbuk padi, dan kaum pria membersihkan kebun karet.

Namun suasana itu kini berganti muram. Sebagian besar lahan telah diratakan alat berat. Ladang berpindah menjadi hamparan hutan tanaman industri milik PT Mayawana Persada (MP).

Bagi warga, sejak perusahaan masuk pada 2019, ruang hidup mereka semakin menyempit. Lumbung padi hilang. Kebun buah juga lenyap. Bahkan kuburan leluhur pun tak luput dari gusuran.

“Semua yang ada, yang milik kami itu dimiskinkan,” keluh Tarsisius Fendi, Kepala Adat Dusun Lelayang, dengan suara bergetar, saat mengadu ke Komisi II DPRD Kalimantan Barat, Selasa (23/9/2025).

Tarsisius mengungkapkan, PT MP hanya memberi kompensasi Rp1,5 juta per bidang lahan yang telah dikuasai. Uang itu disebut sebagai tali asih.

Dalihnya, perusahaan beroperasi dengan izin negara. Namun bagi masyarakat, uang itu tidak sebanding dengan kehilangan sumber hidup hingga sejarah leluhur.

“Lahan kami bukan sekadar tanah, tapi warisan leluhur. Bukit, ladang, bahkan kuburan orang tua kami ikut dihancurkan,” beber Tarsisius.

Akibatnya, banyak keluarga kehilangan mata pencaharian. Anak-anak terpaksa berhenti sekolah. Karena orang tua tak lagi mampu membiayai.

Dan setiap musim hujan, banjir datang melanda, menenggelamkan harapan mereka untuk kembali menanam padi.

Konflik Sosial Melebar

Masalah ini tidak hanya soal tanah. Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, menegaskan, konflik sudah melebar ke ranah sosial.

“Banyak sekali tanah warga, bekas ladang, kebun karet, kebun buah, habis digusur. Lalu konflik diperparah dengan adu domba antarwarga, bahkan ada pembakaran pondok ladang dan lumbung padi,” ungkapnya yang turut mendampingi warga beraudiensi dengan Komisi II.

Menurut Syukri, yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak ekologis. Hutan yang selama ini menjadi penyangga alami, kini digantikan tanaman monokultur.

Akibatnya, banjir besar pada akhir 2024 hingga awal 2025 menghantam desa. Panen gagal. Warga semakin terjepit.

“Ini bukan hanya konflik agraria! Tapi juga bencana ekologis,” tegasnya.

Komisi II akan Cek Lapangan

Keluhan masyarakat akhirnya sampai ke DPRD Kalbar. Komisi II menerima langsung perwakilan warga dan tokoh adat.

Ketua Komisi II, Fransiskus Ason, menyebut, dugaan adanya pemaksaan pelepasan lahan dengan kompensasi rendah tidak bisa ditoleransi.

“Ada pemaksaan untuk menyerahkan lahan. Seolah-olah perusahaan tidak menghargai masyarakat adat di tempat itu,” katanya.

Komisi II berjanji turun langsung ke lapangan. Mereka juga akan memanggil PT MP serta instansi terkait untuk membuka jalan dialog.

Namun Ason menegaskan, penyelesaian tak boleh sekadar rapat di meja. Pemerintah daerah harus lebih responsif.

“Agar masyarakat adat tidak terus menjadi korban pembangunan yang timpang,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT MP masih belum memberikan penjelasan. Humas perusahaan, Nanang saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon WhatsApp, meminta waktu untuk menyiapkan jawaban.***


Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : Redaksi

Leave a comment

huja

Berita Populer

Seputar Kalbar