Polemik Penyerangan WNA ke TNI, Pengamat Tegaskan PT SRM Harus Bertanggung Jawab
PONTIANAK ,insidepontianak.com – Kasus penyerangan aparat TNI oleh sejumlah Warga Negara Asing (WNA) menyeret PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) ke pusaran dugaan pelanggaran serius.
Walau perusahaan berdalih pelaku bekas pekerja, data keimigrasian justru bertolak belakang. Mereka tercatat sebagai tenaga kerja aktif perusahaan.
Kontradiksi ini membuka dugaan perusahaan hendak mengaburkan tanggung jawab hukum atas kejadian itu.
Pengamat hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar menegaskan perusahaan tak bisa lepas tangan. Mereka yang paling bertanggung jawab atas kasus penyerangangan tersebut.
Menurut Herman alasan PT SRM menyebut para WNA eks pekerja dari manajemen lama tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melepaskan tanggung jawab hukum. Sebab, jika tak didatangkan perusahaan, maka tak ada WNA di perusahaan itu.
“Mereka (PT SRM) yang mendatangkan tenaga kerja asing itu," ucapnya.
Menurutnya, jika dalih kontrak kerja telah berakhir, maka seharusnya para pekerja dipulangkan. Namun faktanya perusahaan tidak memulangkan mereka dan imigrasi menyatakan mereka masih berstatus sebagai karyawan PT SRM, lengkap dengan dokumen keimigrasiannya.
“Kalau secara legalitas mereka datang secara sah dan masih berstatus karyawan, maka perusahaan wajib bertanggung jawab. Itu jelas,” tegasnya.
Herman menilai ada unsur kelalaian serius dalam pengawasan tenaga kerja asing oleh perusahaan. Sebab,tenaga asing yang didatangkan tidak bisa menjaga stabilitas keamanan daerah.
Apalagi, sampai berujung pada aksi kekerasan terhadap aparat TNI dan Polri. Menurutnya aksi WNA tesebut bukan saja menganggu stabilitas keamanan, tapi sudah menjurus ke penghinaan terhadap negara.
“Ini bukan persoalan sepele. Pemukulan terhadap aparat TNI-Polri oleh tenaga asing adalah penghinaan serius,” ujarnya.
Ia mendesak agar ada sanksi tegas yang bukan hanya kepada WNA , tapi kepada perusahan. Sanksinya berupa sanksi administratif berupa pencabutan izin perusahaan, juga sanksi pidana.
"Kalau ada unsur kelalaian mendatangkan tenaga asing tanpa kontrol apalagi sampai ada pemukulan, sanksi pidana juga diberlakukan bukan hanya tenaga asing juga kepada perusahaan karena mereka yang mendatangkan,"ungkapnya.
Pintu Masuk Evaluasi
Menurut Herman kasus tersebut harus menjadi perhatian pemerintah daerah, imigrasi dan APH dalam pengawasan WNA. Ia mendorong agar kasus ini jadi pintu masuk imigrasi mengaudit jumlah TKA di PT SRM dan perusahaan yang ada di Kalbar.
Menurutnya, penempatan tenaga asing di perusahaan seharusnya terbatas jumlahnya. Mereka harusnya hanya tenaga ahli untuk kepentingan transfer of knowledge dan transfer of experience, bukan justru dalam jumlah besar yang melampaui tenaga kerja lokal.
“Kalau jumlahnya WNA puluhan, melebihi tenaga lokal sudah tak benar. itu bukan tenaga ahli lagi. Itu sudah tidak masuk akal dan patut dipertanyakan,”paparnya.
Disamping itu, dia mendesak perusahaan terbuka terkait kasus tersebut , termasuk pelibatan TNI dilingkungan perusahaan.
Klaim Bekas Pekerja
Sebelumnya, Direktur Utama PT SRM Firman menyatakan bahwa 15 WNA asal China yang terlibat dalam peristiwa tersebut merupakan pihak yang disponsori oleh manajemen lama, sebelum terjadi pengambilalihan dan restrukturisasi perusahaan.
“Keberadaan WNA yang dimaksud merupakan pihak-pihak yang disponsori oleh manajemen lama, sebelum terjadinya pengambilalihan dan restrukturisasi manajemen perusahaan,” kata Firman usai membuat laporan penyerangan dan perusakan di Polda Kalbar, Selasa (16/12/2025)
Firman menegaskan bahwa manajemen baru PT SRM tidak pernah memberikan persetujuan, penugasan, maupun izin kepada tenaga kerja asing untuk bekerja atau melakukan aktivitas operasional di lingkungan perusahaan. (Andi)
Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : -
Tags :

Leave a comment