Dampak PP 27 2025, Petani Arang Bakau Terancam, DPRD Kubu Raya Dorong Kebijakan Transisi

8 Juli 2025 12:48 WIB
Ratusan warga demo di Kantor Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, protes penahanan kapal arang yang dilakuka pihak Lantamal XII Pontianak, Senin (7/7/2025). (Istimewa)

KUBU RAYA, insidepontianak.com – Anggota DPRD Kubu Raya, Vinanda Bagus Darmawansyah, turut merespons aksi unjuk rasa petani arang bakau di Desa Batu Ampar. Adapun dasar masyarakat demo karena dua hal.

Pertama, merespons penindakan yang dilakukan pihak Lantamal XII Pontianak yang menahan dan menyita 84 ton arang bakau, karena tak mengatongi izin produksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Upaya penertiban ini dianggap mengancam sumber mata pencaharian mereka. Kedua, massa juga mendesak pemerintah memberikan solusi terkait legalitas produksi arang bakau setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025.

Sebagai wakil rakyat, Vinanda menyampaikan dukungan moral kepada masyarakat yang telah menyuarakan aspirasi secara tertib dan damai.

Ia menilai, kegiatan produksi arang bakau yang kini menjadi sorotan akibat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025, harus dilihat secara lebih komprehensif.

Regulasi tersebut pada intinya menghentikan kerusakan ekosistem mangrove akibat eksplotasi secara serampangan.

Namun bagi Vinanda, implementasi regulasi itu penting mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sebab, produksi arang bakau bukan sekadar kegiatan ekonomi biasa di Desa Batu Ampar, melainkan telah menjadi tulang punggung penghidupan bagi sekitar 80 persen warganya.

Aktivitas ini bahkan telah dilakukan secara turun-temurun jauh sebelum adanya regulasi baru tentang konservasi mangrove.

“Ini sudah menjadi tradisi dan warisan leluhur mereka,” ucapnya.

Karena itu, Vinanda berharap pemerintah, dapat mendengarkan suara masyarakat dengan hati nurani.

"Saya berharap, dengan adanya aspirasi masyarakat, Pemerintah tidak hanya melihat dari sisi regulasi semata, tetapi juga menghadirkan solusi yang nyata, adil, dan berkelanjutan,” harapnya.

Selain itu, Vinanda mendorong agar pemerintah segera menyusun kebijakan transisi yang melindungi petani arang dari dampak pelarangan produksi.

"Jangan sampai masyarakat menjadi korban atas kebijakan yang tidak disertai solusi,” tambahnya.

Harap Kejelasan Legalitas

Kiki, koordinator aksi menegaskan, demo yang mereka lakukan bertujuan meminta kejelasan legalitas produksi petani arang bakau.

"Kami mempertanyakan tentang legalitas, bukan protes terhadap penahan kapal arang oleh Lantamal," ucapnya kepada Insidepontianak.com, Selasa (8/7/2025).

Adapun poin utama tuntutan petani arang adalah meminta negara hadir membentuk tim lintas sectoral, supaya segera menyelesaikan polemik legalitas petani arang bakau di Desa Batu Ampar.

"Ada kurang lebih tiga ribu jiwa yang bergantung pada arang bakau ini," ungkapnya.

Baginya, saat ini perekonomian di Desa Batu Ampar terhenti akibat regulasi yang menghentikan kegiatan produksi arang bakau setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025,

"Padahal produksi arang telah menjadi mata pencaharian warga sejak zaman dulu, secara tradisional dan tidak pernah bermasalah," katanya.

Restorasi Ekosistem

Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Kubu Raya, Ya’ Suharnoto menilai, ujuk rasa petani arang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat.

“Apaspirasi dan semangat masyarakat untuk bertahan hidup sah-sah saja," ujarnya

Namun, ia menagaskan, yang perlu dipahami, tak semua bentuk pengambilan sumber daya dari hutan bisa dibenarkan.

"Hutan lindung dan produksi tidak boleh sembarangan ditebang, apalagi tanpa legalitas," ucapnya.

Ia mengklaim, bahwa saat ini tak ada lagi perusahaan yang memproduksi arang dengan menebang bakau di Batu Ampar, sejak terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025.

“Dulu mungkin dilakukan. Tapi sejak ada UU Cipta Kerja, PP Perlindungan Ekosistem, dan Perda Ekosistem Gambut dan Mangrove, semuanya berubah,” ucapnya.

“Sekarang semua diarahkan ke restorasi ekosistem,” tambahnya.

Ia pun memastikan, pemerintah sudah menyiapkan solusi konkret bagi masyarakat yang terdampak regulasi pelarangan eksploitasi bakau, melalui program perhutanan sosial.

Menurutnya, di Batu Ampar, warga telah diberikan hak kelola hutan desa seluas 33.000 hektare sejak tahun 2017.

“Hutan desa itu bukan untuk menebang kayu, tetapi untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu," katanya.

Program perhutanan sosial diklaim telah berjalan. Bahkan sudah ada kelompok-kelompok yang memproduksi madu, teh jeruju, budidaya kepiting bakau dan lainnya. Hanya saja, program ini masih perlu dioptimalkan.

Di samping itu, Ya’ Suharnoto menegaskan, KPH Kubu Raya tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seperti yang dituduhkan sebagian pihak.

“Kami hanya melakukan kajian teknis dan tata hutan. Penerbit izin itu murni dari kementerian. Jadi, kalau ada yang bilang KPH tidak menerbitkan HTR, itu keliru,” tegasnya.

Ia berharap masyarakat memahami hutan bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga ekosistem penting yang harus dijaga bersama.***


Penulis : Gregorius
Editor : -

Leave a comment

Ok

Berita Populer

Seputar Kalbar