Paradoks Cukai Rokok

22 September 2025 10:15 WIB
Pemusnahan rokok ilegal hasil penindakan Bea Cukai Bojonegoro, Jawa Timur, di halaman kantor setempat, Selasa (26/8/2025) (ANTARA/M. Yazid)

JAKARTA, insidepontianak.com – Pajak cukai rokok kerap digadang sebagai senjata fiskal demi kesehatan publik. Namun kebijakan yang serampangan justru berisiko melahirkan paradoks: penerimaan negara merosot, rokok ilegal merajalela, petani dan buruh terpuruk.

Industri hasil tembakau di Indonesia selalu menjadi salah satu titik perdebatan kebijakan fiskal yang paling sensitif. Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menekan konsumsi rokok demi kesehatan masyarakat.

Namun di sisi lain, ada jutaan pekerja, petani, dan pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini.

Dalam konteks itulah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) melalui Ketua BPP Bidang Sinergitas Danantara dan BUMN, Anthony Leong, mengingatkan pentingnya menempatkan kebijakan cukai rokok secara proporsional.

Ia menilai cukai yang kini mencapai 57 persen tidak bisa hanya dilihat sebagai instrumen fiskal semata, melainkan harus diletakkan dalam kerangka keseimbangan antara kesehatan masyarakat, penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja.

Anthony menekankan bahwa setiap kebijakan fiskal, betapapun mulianya tujuan, harus disertai kalkulasi dampak sosial-ekonomi yang nyata.

Jika harga rokok legal melonjak terlalu tinggi akibat kenaikan cukai yang drastis, konsumen berisiko besar beralih ke produk ilegal.

Kondisi ini bukan hanya menggerus penerimaan negara, melainkan juga menghadirkan ancaman kesehatan yang lebih parah karena rokok ilegal tidak melalui standar pengawasan.

Ironinya, niat menekan prevalensi merokok justru gagal tercapai, sementara industri legal yang selama ini menopang perekonomian melalui tenaga kerja, pajak, dan distribusi ikut terpuruk.

Dampak paling nyata dari kebijakan yang tidak berimbang akan dirasakan oleh petani tembakau dan cengkeh.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan lahan tembakau di Indonesia mencapai lebih dari 230 ribu hektare dengan produksi ratusan ribu ton setiap tahun.

Jika permintaan industri menurun tajam, harga jual di tingkat petani akan langsung tertekan. Artinya, mereka yang berada di lapisan paling bawah justru menanggung akibat kebijakan fiskal yang terlalu menitikberatkan pada aspek kesehatan tanpa menyediakan strategi transisi yang jelas.

Anthony mengingatkan bahwa petani tembakau tidak bisa dibiarkan menghadapi guncangan ini sendirian. Dibutuhkan program diversifikasi komoditas agar mereka memiliki sumber penghidupan alternatif.

Penerimaan Cukai

Hal yang sama berlaku bagi jutaan buruh yang bekerja di sektor hasil tembakau. Mereka membutuhkan kepastian bahwa peralihan kebijakan cukai tidak otomatis menghapus lapangan kerja yang selama ini menjadi sandaran keluarga.

Karena itu, perlu untuk didorong agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) benar-benar digunakan sesuai tujuan untuk memberdayakan petani, memberikan pelatihan ulang bagi buruh yang terdampak, serta membiayai diversifikasi ekonomi di daerah penghasil.

Dengan demikian, masyarakat bisa merasakan langsung manfaat dari penerimaan cukai, bukan hanya melihat angka di laporan keuangan negara.

Kenaikan cukai memang sebaiknya dilakukan bertahap dengan peta jalan multiyears. Pendekatan ini memberi ruang bagi industri untuk beradaptasi, bagi pekerja untuk menyiapkan diri, dan bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan rokok ilegal.

Kenaikan yang melonjak tinggi dalam satu periode justru berpotensi kontraproduktif. Dialog reguler antara pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi pekerja juga penting agar kebijakan yang diambil benar-benar grounded, sesuai kondisi riil di lapangan, serta memiliki legitimasi sosial yang kuat.

Ini memang bukan untuk menolak urgensi kesehatan publik. Ditekankan secara tegas bahwa cukai memang harus mampu mengendalikan konsumsi. Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan itu tidak boleh menambah masalah baru di lapangan.

Cukai harus menjadi instrumen yang berimbang, di satu sisi mendorong penurunan prevalensi merokok yang masih berada di kisaran 28 persen dari populasi dewasa, di sisi lain tetap menjaga keberlangsungan hidup jutaan pekerja dan petani.

Dalam perspektifnya, Indonesia mampu mencapai dua sasaran sekaligus jika kebijakan disusun dengan bijak terkait penerimaan negara meningkat, kesehatan masyarakat terjaga, dan tenaga kerja terlindungi.

Optimisme ini tidak berlebihan jika melihat kontribusi industri hasil tembakau selama ini. Pada 2024, sektor ini tercatat menyumbang lebih dari Rp230 triliun ke kas negara.

Jumlah itu menjadi salah satu pilar penerimaan fiskal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kontribusi sebesar itu, logis jika pemerintah menata transisi secara hati-hati agar penerimaan tetap terjaga, sembari melindungi masyarakat dari dampak buruk konsumsi berlebihan.

Keseimbangan inilah yang perlu untuk terus didorong agar kebijakan cukai tidak terjebak dalam dikotomi sempit antara kesehatan versus ekonomi.

Indonesia membutuhkan jalan tengah yang realistis. Tidak ada masyarakat yang ingin melihat generasi muda terjerat kecanduan rokok, tetapi juga tidak ada yang rela melihat jutaan pekerja dan petani kehilangan penghidupan tanpa solusi.

Dengan strategi berimbang, kebijakan cukai bisa menjadi instrumen yang tidak hanya mengurangi konsumsi rokok, tetapi juga memperkuat tata kelola industri, mengurangi peredaran ilegal, dan menumbuhkan ekonomi daerah.

Pada akhirnya, orientasi kebijakan haruslah menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya sebagian.

Suara yang disampaikan Anthony Leong mencerminkan sikap konstruktif dalam mendukung kebijakan fiskal yang berpihak pada kesehatan, tetapi dengan syarat ada keberpihakan yang sama kuatnya terhadap pekerja, petani, dan pelaku usaha kecil.

Inilah wujud tanggung jawab generasi pengusaha muda yang tidak hanya berpikir tentang keuntungan bisnis, tetapi juga masa depan masyarakat.

Melalui keberanian ditegaskan tentang pentingnya keseimbangan, dan sebenarnya sudah banyak pihak yang menawarkan perspektif untuk mencerahkan di tengah perdebatan panjang soal cukai rokok. Asal sejauh mana bangsa ini mau membuka diri. (Ant)***


Penulis : Abdul Halikurrahman/Antara
Editor : -

Leave a comment

huja

Berita Populer

Seputar Kalbar