Seteru Cantrang di Laut Kalbar: Antara Solusi dan Janji Tak Pasti [PART I]

Rabu 21 Juni 2023, asap tebal membumbung tinggi di tengah laut perairan Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Teriakan bakar … bakar menyeruak diantara suara patahan kayu dan api bersamaan desiran angin laut membuat suasana kian mencekam.
Siang itu, sekitar pukul 10.30 WIB ratusan nelayan mengepung dua kapal, KM Wahana Nilam dan KM AJB – 1. Berawal adu mulut di tengah laut, berakhir pembakaran. Nelayan tersulut emosi, marah lantas nekat membakar dua kapal asal Kecamatan Juwana dan Rembang itu.
KM Wahana Nilam yang berbobot 88 grosston (GT) dan KM AJB – 1 berbobot 92 GT dianggap ‘ngeyel’ usai berulang kali diingatkan untuk tak menangkap ikan menggunakan alat tangkap cantrang dan melanggar zona penangkapan.
Dua kapal tersebut adalah kapal cumi yang kerap melintasi area tangkap nelayan Kalbar. Zonanya, dari Selat Karimata hingga masuk wilayah perairan Kalbar. Masuk kawasan penangkapan ikan WPP-RI 771.
Dua kapal ini dianggap menerabas radius 12 mil, bahkan di bawah radius aturan yang ditetapkan plus dengan penggunaan cantrang besar. Cantrang adalah sejenis alat tangkap ikan yang berupa pukat kantong (seine net) yang dioperasikan dengan cara di lingkarkan pada dasar perairan dan kemudian ditarik ke atas kapal.
Bukan tanpa alasan peristiwa itu terjadi. Bisa dikatakan, itu adalah puncak kekesalan nelayan. Mulai dari area tangkap, kapal berGT besar, persaingan tak imbang, hasil tangkap berkurang, pendapatan makin sedikit hingga modal tergerus akibat aksi kapal-kapal tersebut tanpa mempertimbangkan nasib nelayan lokal.
Bukan juga pertama kali perseteruan antara nelayan lokal Kalbar dengan kapal besar ini. Terbanyak, berasal dari pulau Jawa, terutama kawasan Pantura yang kebanyakan beroperasi di perairan Kalimantan.
Tak hanya dua kapal nahas ini, sebelumnya ada lima kapal serupa juga berhasil diamuk nelayan di perairan Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara.
Bedanya, lima kapal ini tidak dibakar hanya diamankan bersama petugas Polair. Kejadiannya, sekitar periode tahun 2023-2024. Meski tak dibakar, tapi intimidasi nelayan lokal mampu membuat kapal-kapal itu diproses hukum.
Ke lima kapal itu adalah KM. Eka Setia, KM Sumber Makmur, KM Rajawali Laut VI, KM Kencana Enam dan KM Character dengan bobot di atas 80-104 GT.
Di periode 2024 hingga saat ini, para nelayan Kepulauan Karimata masih berjibaku mengusir puluhan kapal-kapal tanpa menimbulkan konflik besar.
Dalam catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar, Kepulauan Karimata menjadi surganya pencari ikan, berbagai jenis ikan tepatnya. Ikan dan cumi berkualitas super mudah ditemukan di sana. Sebut saja Ikan Semerah, Ikan Kerapu Sunu, Ikan Tenggiri, Ikan Krisi, Rumput Laut, hingga Lobster.
Dengan perlintasan hasil jual oleh pemasok melewati Jakarta hingga Belitung untuk jadi komoditi ekspor. Tak heran, jika muara utama kapal-kapal pencari ikan ada di sekitaran Selat hingga Kepulauan Karimata.
Jika ditelisik lagi, peristiwa pembakaran dua kapal di perairan Kubu Raya, berawal dari pengusiran dan ‘pelarian’ dua kapal tersebut dari sekitaran Kepulauan Karimata, Kayong Utara.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kayong Utara mencatat hasil perikanan di tahun 2020 mencapai 21.676,95 ton.
Potensi ini yang menjadikan perlintasan kapal-kapal besar luar Kalbar kerap ditemukan di area Kepulauan Karimata dan sekitarnya (Ketapang). Potensi melimpah menjadi pemantik meraup tangkapan laut hingga berton-ton.
Tak heran sejak dulu Selat Karimata terkenal dengan potensi melimpah akan hasil laut. Tak heran, jika pencurian ikan mulai marak. Bahkan makin tahun makin meningkat.
Konflik di perairan Kalbar terus berlanjut, meski kasus di bawa ke meja hijau, baik kasus pembakaran kapal di Kubu Raya hingga penangkapan kapal di Kayong Utara. Namun, tak ada solusi kongkrit dari pemerintah. Masih saja ditemui kapal-kapal luar melanggar zona terlarang di perairan Kalbar dan penggunaan cantrang yang tak ada habisnya.
Dari fakta penyelesaian kasus yang ada, pemerintah terkesan tak mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan konflik dan baru bertindak usai peristiwa terjadi dilihat dari kasus pembakaran kapal tersebut.
Data Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak mencatat sejak tahun 2022 hingga 2024, pihaknya mengamankan 8 kapal nelayan yang melanggar aturan.
Kapal-kapal itu umumnya memiliki tonase besar dari 30-120 GT. Mereka adalah KM Semanget, KM Subur Jaya, KM Arif Wijaya Sukses, KM Karunia Ilahi V, KM Herry (30 GT), KM Bejo Satrio (120 GT), KM Buana Mulya (96 GT) dan KM Tirta Mangkurat Jaya dengan 116 GT.
Dari delapan kapal ini, KM Arif Wijaya Sukses terbukti menggunakan cantrang sementara tujuh kapal lainnya melanggar zona tangkap hingga kelengkapan surat-surat bermasalah. Ke delapan kapal tersebut hanya dikenakan sanksi administrasi. Padahal, kapal-kapal tersebut dianggap merugikan nelayan lokal.
Bukan hanya kapal cantrang yang menjarah hasil laut dari ikan, anakan ikan hingga merusak ekosistem perairan sekitar, tapi pembiaran pencurian ikan bebas pelan tapi pasti memangkas kehidupan nelayan setempat yang menggantungkan semua hidupnya di laut.
Tangkapan berkurang drastis sedikit hingga kebutuhan untuk melaut makin sulit memperparah kualitas hidup nelayan di pesisir Kalbar.
Banyak pihak meyakini, tanpa tindakan tegas dan banyak kebijakan ambigu layu, konflik ‘senyap’ antara dua pemburu laut ini bakal terus berulang, dan sepertinya masih akan terus berlanjut.
Apa sebenarnya permasalahan dua pemburu hidup di laut Kalbar ini? Apakah hanya sekedar pelanggaran zona atau penggunaan cantrang atau ‘lemesnya’ kebijakan pemerintah yang tak dianggap para pelanggar ini?
Jurnalis Insidepontianak.com mencoba membedah kasus dari mulai konflik di Kubu Raya hingga ke Kayong Utara.
Gurita Masalah
Bukan tanpa sebab KM Wahana Nilam IV dan KM AJB-1 dibakar ratusan ratusan nelayan di tengah laut perairan Kubu Raya, Kalbar.
Peristiwa Itu adalah puncak masalah yang menggurita bagi nelayan di sana. Mereka kerap bersinggungan dengan kapal-kapal berbobot di atas 80 GT asal Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah tersebut. Penggunaan jenis alat tangkap cantrang menjadi alasan utama permasalahan tersebut.
Padahal, dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, alat tangkap jenis cantrang dilarang.
Tak hanya itu puncak kekesalan nelayan setempat, area tangkapan juga menjadi persoalan, terutama kapal-kapal yang berani masuk operasi di luar zona tangkap dan pelanggaran mil laut.
Dalam Peraturan PP Nomor 11 Tahun 2023, zona PIT mencakup wilayah pengelolaan perikanan di laut lepas dan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Begitu juga, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 tahun 2014 yang menetapkan 11 WPPNRI dengan enam kelompok zona penangkapan ikan melalui kebijakan PIT.
Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bahwa kapal dengan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah (Gubernur). Aturan itu mengatur wilayah penangkapan di laut sampai dengan 12 mil.
Faktanya, banyak kapal di atas 50 GT masih beroperasi di bawah 30 mil dan 12 mil laut. Padahal, zona 12 mil laut ke bawah hanya diperuntukan untuk nelayan kecil di kawasan setempat. Pemicu puncak inilah yang mendorong nelayan Kubu Raya melakukan tindak anarkis membakar dua kapal itu.
Hari ini pun saya bertemu langsung dengan salah seorang saksi pembakaran kapal yang juga Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kubu Raya, Busrah Abdullah.
Ia lantas menunjuk arah koordinat 0°07'000" Lintang Selatan - 108°38'000" Lintang Utara, tepatnya arah Muara Jungkat, Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.
“Itu mba di ujung sana (pembakaran, red),” kata Busrah Abdullah menunjuk ke arah laut saat kami berada di area Pelabuhan Sungai Kakap, belum lama ini.
Tampak kapal-kapal motor pencari ikan berjejer penuh di sekitaran pelabuhan. Pelabuhan Sungai Kakap, merupakan pusat pendaratan ikan terbesar di Kubu Raya berbatasan langsung dengan Laut Natuna yang masuk dalam WPP-RI 771.
Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan adalah wilayah strategis pencarian ikan dan tempat kapal kecil hingga raksasa ‘mangkal’ di area tersebut.
Wilayah ini juga, terutama area Karimata jadi saksi langsung pembakaran dua kapal nelayan luar Kalbar ini.
“Masalah ini bukan sekali dua kali terjadi dan laporan sudah tak terhitung tapi, tak pernah dicarikan solusi, terutama bagaimana nelayan Kubu Raya tidak terdampak kapal-kapal bertonase besar itu,” katanya awal Februari 2025 lalu.
Pengamanan yang dilakukan Polda Kalbar dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan hingga tuntas.
“Kami butuh solusi dan tindakan tegas agar peristiwa tidak terulang lagi. Kita percaya aparat tapi kita juga ingin penindakan dan penegakan hukum bisa membuat efek jera. Jika tidak, pastinya ada masalah dalam sistem kita,” ujarnya.
Hal sama dikeluhkan Iwan (45) nelayan asal Kubu Raya. Kapal pencari ikan luar Kalbar umumnya punya GT di atas 50 hingga 100 GT ke atas.
Kapal dengan kekuatan besar itu mampu meraup ikan dan cumi berton-ton, sementara kapal nelayan lokal hanya punya kekuatan di bawah 10 GT, hanya bisa maksimal di angka 50 kg.
“Ini jomplang. Mereka punya kapal besar tapi kita kecil. Sekali tangkap mereka bisa satu ton hingga dua ton jika lama di laut. Sementara kita selama-lamanya di laut pun tak bisa mencapai tinggi. Ini yang membuat kami bertindak,” katanya.
Pembakaran itu kata Iwan, merupakan kekecewaan terhadap tata kelola perikanan yang buruk. Sekaligus langkah terakhir yang dianggap bisa membawa efek jera.
Ikan Melimpah: Potensi atau Masalah?
Tak hanya nelayan di Kabupaten Kubu Raya, persoalan yang sama juga datang dari tanah Kayong Utara, tepatnya di area yang paling diincar potensi ikannya, Kecamatan Kepulauan Karimata.
Mengutip Wikipedia, Kecamatan Kepulauan Karimata secara geografis berada di paling barat wilayah Kabupaten Kayong Utara masuk dalam gugusan pulau di Selat Karimata.
Diketahui Kecamatan Kepulauan Karimata terhubung dengan Selat Karimata. Dalam WPP-RI 771, Selat Karimata bersama Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan memiliki potensi besar. Tak heran, jika negara mengatur izinnya.
Dari situ, bisa digambarkan betapa besar manfaat bagi nelayan sekitar jika bisa memanfatkan potensi itu. Ini juga sekaligus masalah karena menarik banyak ‘pesaing’ yang ingin menangkap di jalur yang sama. Overfishing pun rentan terjadi dan ini menimbulkan masalah untuk nelayan lokal karena hasil tangkap mereka berkurang.
Dalam data administrasi, Kepulauan Karimata memiliki 130 pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, ada 83 pulau terbagi secara kecamatan. Bisa dipastikan dengan area kepulauan dan pesisir, mata pencarian utama penduduk adalah nelayan.
Ada 83 pulau di kecamatan ini dengan hanya 11 pulau yang berpenghuni, diantaranya Pulau Karimata, Pulau Pelapis Tengah, Pulau Panebangan dan Pulau Serutu.
Ada tiga desa di Kecamatan Kepulauan Karimata yang paling menghasilkan banyak ikan yaitu Desa Betok Jaya, Desa Padang dan Desa Pelapis.
Tiga desa ini merupakan nelayan tradisional dengan kemampuan kapal yang kecil tak sampai 10 GT. Dari tiga desa inilah yang paling banyak terjadi kasus pencurian ikan yang massif.
Camat Kepulauan Karimata Kayong Utara, Hendra mengungkapkan, 90% pekerjaan utama warga desa adalah melaut. Umumnya, hasil tangkapan mereka melimpah, baik ikan hingga cumi.
Dengan panjang 3 meter dan lebar 2 meter, kapal-kapal nelayan ini tak mampu bersaing dengan kapal-kapal luar yang bermuatan besar.
“Paling terasa ini lima tahun ini. Tangkapan nelayan yang biasa melaut berkurang, makin tahun makin sedikit bahkan ada yang tidak dapat sama sekali,” ungkap Hendra.
Nelayan di tiga desa adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap berupa pancing dan memasang bubu, sejenis keramba apung untuk menjerat ikan di sejumlah titik di tepi laut.
Di musim ikan, bubu nelayan bisa menghasilkan ikan lumayan banyak sehingga bisa menghidupkan dapur dan menambah penghasilan keluarga.
Penghasilan nelayan setempat bisa dibilang pas-pasan. Banyak nelayan yang bahkan tidak bisa melaut karena kurangnya modal. Tak sedikit, nelayan yang tidak punya kapal terpaksa patungan sekedar menyewa sebuah kapal dengan pembagian hasil tangkapan.
Tak jarang juga nelayan berhutang kepada tengkulak setempat untuk modal melaut atau sekedar menambah kebutuhan keluarga. Ini membuktikan, laut menjadi sumber pendapatan utama nelayan lokal dalam memenuhi kehidupan mereka.
“Di sini nelayan lokal lebih banyak memancing, menggunakan bubu, dari sore hari hingga malam hari atau ikut toke besar. Karena mereka benar-benar tradisional, seadanya untuk mencari ikan dan menjual untuk keperluan dapur mereka,” ujarnya.
Untuk penghasilan pun jika dalam kondisi basah, istilah nelayan di sana, sehari semalam itu nelayan perorangan bisa Rp 1-2 Juta. Untuk nelayan besar di sana bisa belasan juta. Terutama cumi, Ikan Tenggiri hingga Ikan Kerapu Sunu. Tapi, jika kondisi kosong hingga dua bulan pun tak berpenghasilan.
Namun, semenjak ada kapal-kapal bertonase besar masuk ke perairan Karimata, pendapatan nelayan berkurang. Bahkan, sudah setahun ini tangkapan nelayan bisa dikatakan tak sesuai harapan.
Makin membuat marah nelayan lokal adalah, kapal-kapal luar sangat berani masuk di bawah 12 mil laut, padahal di area tiga desa di Kecamatan Kepulauan Karimata itu ada Cagar Alam Laut (CAL) yang dilindungi.
“Jadi tak heran nelayan marah kepada kapal-kapal luar yang masuk dengan cantrang mereka, karena semua di sapu. Nelayan hanya dapat ampasnya saja,” kata Hendra.
Dalam tiga tahun ini, nelayan makin dibuat kesal. Kapal-kapal luar yang masuk ke perairan Kepulauan Karimata berani masuk di bawah 12 mil, bahkan ada yang nekat 5 mil dari daratan.
“Mereka kan pakai cantrang, yang otomatis menyapu semua jenis ikan. Bahkan ikan kecil di dalam terumbu karang. Mirisnya, bubu-bubu yang dipasang nelayan ikut terimbas padahal untuk membuat bubu cukup mahal. Nelayan harus merogoh kocek Rp 250.000-300.000 per bubu, sementara ada ratusan titik bubu di tepi laut yang potensi ikannya banyak,” paparnya,
Di lihat dari catatan, sejak tahun 2017 hingga tahun 2025 konflik nelayan dan kapal cantrang luar sudah sering terjadi. Puncaknya di tahun 2017, pembakaran kapal cantrang tak terhindarkan. Penangkapam kapal pun kerap terjadi hingga hari ini.
“Pembakaran pernah. Saat ini hanya penangkapan saja oleh nelayan. Mereka sudah mengerti hukum jadi sekarang melibatkan aparat hukum dan desa setempat biar tak menjadi kasus,” kata Hendra.
Terlacak tapi Tak ‘Terlihat’
Dari 19 kapal luar Kalbar, baik diamankan PSDKP hingga Polair Kalbar periode 2021-2024, hanya enam kapal yang terlacak dalam web Global Fishing Watch (GFW). Umumnya, aktivitas kapal terlacak tapi tidak terlihat secara spesifik.
Bisa dikatakan, tak terlihat jelas aktivitas kapal-kapal tersebut. Bahkan, informasi alat tangkap hingga area tangkapan yang biasanya dijabarkan, tak tergambar maksimal di web tersebut.
Mereka adalah KM Kencana Enam. Kapal ini terdaftar dengan MMSI 525004082 dan callsign PNVC. Berdasarkan data GFW, kapal ini dipantau pada periode (2014–2025). Tak dijelaskan detail alat tangkap, jenis kapal hanya dikategorikan sebagai "lainnya" dalam situs tersebut. Status tersebut menunjukkan bahwa kapal ini kemungkinan tidak teridentifikasi dalam klasifikasi perikanan umum seperti kapal penangkap ikan, kapal pemrosesan, atau kapal pengangkut.
Pemantauan terhadap KM Kencana Enam dilakukan dalam kurun waktu 15 Maret 2023 hingga 25 Februari 2024. Dalam periode ini, kapal ini tercatat melakukan 113 pelayaran, semuanya merupakan kunjungan ke pelabuhan yang tersebar di beberapa titik di Indonesia seperti Jakarta, Panjang, Merak Mas Terminal, dan Suralaya. Tak satupun menunjukkan informasi berlayar di area 771. Namun, kapal ini berhasil ditangkap nelayan dan AL dan dipastikan menggunakan cantrang tahun 2023 lalu.
Kemudian ada KM Rajawali Laut VI. Kapal ini memiliki MMSI 525800496 dan dikategorikan sebagai kapal penangkap ikan dengan jenis alat tangkap utama berupa "Squid Jigger" (alat tangkap cumi-cumi). Namun, kapal ini ditangkap nelayan dan aparat di Kepulauan Karimata, Kayong Utara karena menggunakan cantrang bukan alat tangkap cumi seperti informasi GFW di tahun 2023.
Periode pemantauan aktivitas pemantauan kapal ini dilakukan dalam periode 2 Juni 2020 hingga 6 November 2024. Dalam kurun waktu tersebut, tercatat melakukan 2 kali kunjungan Pelabuhan Jakarta dan Dobo.
Lalu ada KM Sumber Makmur. Ini adalah kapal penangkap ikan dengan MMSI 525899999. Berdasarkan data pengawasan dari Global Fishing Watch, kapal ini dikategorikan sebagai kapal "alat tangkap" baik pada tahun 2021 maupun 2022, menunjukkan bahwa fungsinya memang ditujukan untuk aktivitas penangkapan ikan secara langsung.
Periode pemantauan tercatat berlangsung dari tanggal 11 Maret 2021 hingga 6 Agustus 2022, mencakup hamper satu setengah laut aktivitas di laut Indonesia dan sekitarnya.
Selama periode pemantauan tersebut, KM Sumber Makmur tercatat melakukan 2 pelayaran, yang menghasilkan 8 peristiwa aktivitas. Aktivitas kapal terdistribusi hanya menyebutkan di laut Indonesia tanpa keterangan spesifik. Pada 2023, kapal ini pun ditangkap di zona 771 di Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar dengan alat tangkap cantrang ilegal.
Lantas ada KM Wahana Nilam. Kapal dengan nomor MMSI 590007123. Tak ada informasi detail tentang jenis kapal dan alat tangkap, hanya mencantumkan kata "lainnya" dalam GFW dalam periode 2022–2025.
Ini mengindikasikan bahwa kapal ini tidak tergolong dalam kategori standar seperti kapal penangkap, pemroses, atau pengangkut, melainkan memiliki fungsi lain yang tidak spesifik.
Lalu ada KM Arif Wijaya Sukses. Kapal mmeiliki identitas MMSI 525601369. Dalam sistem pelacakan Global Fishing Watch (GFW), kapal ini tidak tercatat memiliki nomor IMO maupun call sign.
Berdasarkan klasifikasi GFW, kapal ini tergolong dalam kategori lainnya, baik dari segi jenis kapal maupun jenis alat tangkap, yang menunjukkan bahwa kapal ini tidak termasuk dalam jenis kapal perikanan yang umum seperti pukat cincin, rawai, atau jaring insang.
Kapal ini ditangkap di tahun 2022 oleh PSDKP Pontianak di perairan Karimata karena penggunaan cantrang
Untuk aktivitas kapal, kapal ini mengunjungi 2 pelabuhan Bajomulyo pada 3 September 2024, pukul 12.40 UTC selama 11 hari, lalu 18 September 2024, pukul 04.46 UTC.
Dalam periode pemantauan dari 20 Desember 2022 hingga 18 April 2025, khususnya antara 15 Maret 2023 hingga 25 Februari 2024. Kapal ini terpantau melakukan 2 pelayaran dengan total 42 peristiwa yang tercatat.
Kemudian ada KM Subur Jaya. Kapal berbendera Indonesia dengan MMSI 525000053. Berdasarkan catatan dari GFW, kapal ini tidak termasuk klasifikasi standar seperti kapal penangkap, pengangkut, ataupun pemroses ikan, melainkan masuk dalam kategori yang lebih umum.
Untuk aktivitas kapal, dalam periode pemantauan antara 19 Agustus 2022 hingga 16 Maret 2023, KM Subur Jaya tercatat hanya melakukan 1 pelayaran, tetapi dengan 5 peristiwa aktivitas di lautan tanpa ada catatan lokasi penangkapan secara jelas.
Data PSDKP Pontianak menyebut KM Subur Jaya ditangkap tahun 2022 lalu karena melanggar daerah penangkapan ikan. Harusnya kapal ini menangkap di WPPRI 712.
Terakhir, KM Tirta Mangkurat Jaya. Kapal berbobot 116 GT ini memiliki nomor MMSI 525700861. Berdasarkan data dari Global Fishing Watch, kapal ini diklasifikasikan sebagai kapal “lainnya” untuk jenis kapal maupun jenis alat tangkap, baik dalam periode tahun 2022–2023 maupun 2024–2025.
Artinya, kapal ini tidak terdaftar secara spesifik sebagai kapal penangkap, pengangkut, atau pemroses ikan, namun tetap tercatat aktif beroperasi di lautan.
Untuk aktivitas kapal, selama periode pemantauan dari 5 Januari 2022 hingga 4 Januari 2025, KM Tirta Mangkurat Jaya tercatat melakukan 2 pelayaran yang menghasilkan total 65 peristiwa.
Namun, data PSDKP Pontianak menyebutkan kapal ini pada tahun 2024 lalu ditangkap di perairan Karimata Kayong Utara tidak melanggar zona penangkapan dan tidak mengaktifkan transmitter VMS selama di laut. Mereka menggunakan jaring tarik berkantong dalam operasionalnya.
Dalam kurun 2022-2024, PSDKP Pontianak juga mengamankan dua kapal asing, KM Semanget asal Singapura dan KM Character asal Amerika Serikat dan hanya mendapat sanksi administrasi padahal melanggar zona tangkap dan batas laut negara.
Dalam data GFW yang dihimpun, ada banyak informasi tak terdata dalam angka di web tersebut. Bisa dikatakan, kebanyakan kapal-kapal terlacak tapi tidak benar-benar terlihat Lokasi spesifik di mana operasi akurat kapal-kapal itu. Namun, sebagain data kapal dilengkapi dengan informasi valid dari PSDKP Pontianak.
Tak Punya Pilihan
Sejumlah pengakuan anak buah kapal kenapa memilih untuk menangkap ikan di area nelayan lokal terungkap. Para ABK asal Pati ini tak punya pilihan lantaran tuntutan sang pengusaha akan target yang harus mereka capai.
Seperti diungkap Ridwan dan Ari, anak buah kapal saat sandar di Pelabuhan Sungai Kakap, Kubu Raya belum lama ini. Mereka tak punya pilihan lain selain patuh dan ikut aturan tekong, sang nahkoda kapal.
Saya pun menemui mereka di sela-sela istirahat siang. Sekitar pukul 13.21 WIB pertengahan bulan Februari lalu. Cuaca panas tampaknya tak membuat dua pemuda bimbang.
Ridwan lebih mau berkomunikasi. Dengan rokok di tangan, ia dengan suara lirih mengaku tak tau aturan perikanan. Ia hanya tahu, boleh menangkap ikan asal lengkap surat-menyuratnya.
“Kami kerja, ikut aja,” katanya.
Ridwan dan rekan-rekannya berasal dari Kabupaten Rembang, mereka singgah untuk memenuhi sejumlah pembekalan yang hampir habis. Biasanya ia melaut hingga jauh, bahkan laut Arafuru.
“Kami tidak masalah. Ada sih kapal lain yang ditangkap, kalau kami ya baik dengan nelayan sini (Kalbar),” ujarnya.
Pakar Perikanan dari Politeknik Pontianak, Sadri, memberikan gambaran gamblang mengapa kawasan 711 selalu jadi tempat nyaman untuk kapal luar Kalbar. Menurutnya, meningkatnya permintaan konsumsi ikan pastinya mendorong penangkapan lebih guna memenuhi pasar.
Tak hanya pasar lokal tapi permintaan pasar internasional, terutama ikan dengan nilai ekonomi tinggi. Apalagi kawasan Kalbar, di Selat Karimata kaya sekali sumber daya perikanan.
Sumber daya nelayan Kalbar terbatas jika dibandingkan dengan kapal besar asal Jawa yang berkapasitas dan bermodal besar. Akibat ini, tak heran jika kapal besar memilih area tangkap yang berpotensi besar yang lebih menguntungkan.
“Faktanya banyak dari mereka melanggar aturan zona tangkap yang telah ditetapkan hingga penggunaan cantrang sesuai temuan lapangan.
Ia pun menemukan kerusakan ekosistem di wilayah Pantura dan sekitarnya menjadi salah satu faktor mereka sampai ke Kalbar. Belum lagi, kordinasi antara Pemerintah Pusat dan daerah menjadi salah satu kendala hingga aturan macet dan dianggap tak terlalu memuaskan nelayan lokal.
“Ini yang harus dibenahi tata Kelola perikanan kita. Jika tidak dilakukan, persoalan ini akan terus berulang,” ujarnya.
Aturan Mangkrak
Direktur Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Kalbar, Burhanudin Abdullah menyoroti aturan dan penegakan hukum yang tidak berjalan maksimal, banyak hukuman mangkrak di tengah jalan. Padahal, itu penting untuk membuat efek jera bagi pelanggar aturan.
Persoalan kapal luar yang menggunakan cantrang bukan masalah baru, hampir setiap tahun terjadi insiden seperti itu. Bukan hanya persoalan cantrang tapi ketimpangan antaran kapal local yang hanya di bawah 10 GT dengan kapal Pantura di atas 80 GT.
“Kita lihat kasus Kubu Raya, pembakaran terjadi karena nelayan merasa pebiaran dilakukan. Aturan ditabrak, tidak jalan, mangkrak di tengah jalan. Belum lagi ketegasan yang tidak terjadi. Akibatnya, aturan tidak tegak maksimal,” papar Burhanudin Abdullah.
Dalam aduan nelayan, ketegasan aparat hukum dan lemahnya kordinasi lintas sektor menjadi puncak ketidakpercayaan nelayan sehingga terjadi tindak anarkis tersebut.
“Kita lihat apa sebabnya terjadi. Ternyata, nelayan kecewa dan sudah gerah karena aparat tidak berbuat ketika ada laporan masuk. Ini catatan ke depan jika tidak ingin peristiwa berulang. Tegakan aturan, jangan mangkrak dan membuat ketidakpercayaan public,” tegasnya.
LKPI Kalbar sejauh ini sudah membawahi 4.000 nelayan seluruh Kalimantan Barat. Banyak yang sudah dilakukan, salah satunya kemudahan nelayan dalam memperoleh BBM subsidi.
Persoalan hukum pun juga diungkap Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kubu Raya, Busrah Abdullah.
Tindakan nelayan akibat proses hukum yang tidak berjalan dengan baik dan semenstinya. Harusnya kata Busrah, aturan dan sanksi yang diatur bisa membuat pelaku jera.
Namun, faktanya masa hukuman yang singkat dan cenderung labil membuat para nelayan mencari jalannya sendiri.
“Kalau menyoal urusan lahan dan perut, semua bisa terjadi. Jangankan bentrok, bakar atau tindakan apapun bisa terjadi karena periuk nasi di rumah terganggu. Jika urusan itu bermasalah dan tidak ada penyelesaian jelas, massa akan bergerak sendiri,” ujarnya.
Persoalan ini tak hanya sebatas perseteruan antar dua kepentingan tapi lebih kepada peran pemerintah agar aturan ditegakkan. Baik LKPI dan HNSI optimis solusi bisa terjadi jika peran masing-masing Lembaga bisa lebih maksimal. (Bersambung)
Penulis : Wati Susilawati
Editor : Wati Susilawati
Leave a comment