Mangrove Dibabat, Nelayan Jadi Korban, KPH Sambas Tak Berdaya di Batas Peta

7 November 2025 16:39 WIB
Kondisi hutan mangrove di Desa Sebubus Paloh yang dibabat. (Istimewa)

SAMBAS, insidepontianak.com – Suara resah nelayan di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, yang terdampak kerusakan hutan mangrove, seperti menggema di ruang kosong.

Pasalnya, teriakan mereka seolah tak mendapat perhatian serius. Lembaga perangkat pemerintah hanya menyikapi dengan batas-batas tugas. Padahal dampaknya nyata.

Tangkapan nelayan menurun. Kepiting, cuyung, kijing kian langka. Habitatnya rusak. Akar masalahnya: pembalakan liar. Kayu mangrove ditebang massif. Tanpa ampun. Ekosistem pesisir rusak.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Sambas, yang diharapkan jadi tameng, justru berhenti di batas garis kerja. Penindakan? Tidak bisa. Alasannya tak punya kewenangan.

Katanya, hasil pengecekan lapangan dan pencocokan data peta kawasan hutan berdasarkan SK Nomor 733 Tahun 2014, titik bentang mangrove yang dibabat di luar kawasan hutan.

“Kami sudah turunkan tim untuk verifikasi lapangan. Kami lihat langsung titik-titik yang rusak,” kata Kepala UPT KPH Wilayah Sambas, Ponty Wijaya, Jumat (7/11/2025).

Ia menekanan, perlu dipahami semua pihak, ekosistem mangrove tidak selalu berada di dalam kawasan hutan. Ada yang di dalam, ada yang di luar.

“Nah, yang di Sebubus itu di luar kawasan hutan. Tugas kami dalam melakukan penindakan hanya di dalam kawasan hutan, sesuai SK Nomor 144 Tahun 2019,” tambahnya.

Sikap ini menimbulkan kekecewaan. Sebab, di mana pun letaknya, rusaknya mangrove tetap berarti rusaknya ekosistem lingkungan pesisir.

Hutan mangrove digerus, biota air menghilang, ekonomi nelayan tumbang. Namun Ponty berdalih: KPH harus bekerja sesuai regulasi.

Kerusakan di luar kawasan hutan, katanya, masuk ranah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Jadi, tanggung jawabnya ada di Dinas Lingkungan Hidup (DLH). DLH kabupaten jika masih dalam satu wilayah, DLH provinsi jika lintas daerah.

“KPH tidak punya instrumen penyidikan seperti PPNS. Jadi kami tidak bisa melakukan penindakan hukum secara langsung,” tegas Ponty.

Meski begitu, ia mengklaim KPH tak lepas tangan atas kasus pembalakan liar kayu mangrove di Desa Sebubus.

Mereka turun ke lapangan, ambil koordinat, pastikan status kawasan, lalu menyerahkan hasilnya ke Pemkab Sambas.

“Kami bantu di tahap awal. Setelah hasilnya keluar, kami sampaikan ke pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti,” ujar Ponty.

Ia menjelaskan, pengelolaan mangrove di Indonesia memang berlapis kewenangan.
Jika mangrove di dalam kawasan hutan, urusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jika di luar kawasan hutan, urusan Kementerian Lingkungan Hidup dan DLH daerah.
Kalau di wilayah pesisir dan pulau kecil, urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Kami di KPH tetap mendukung lewat data dan informasi spasial. Tapi untuk penegakan hukum dan pengelolaan selanjutnya, itu sudah menjadi kewenangan instansi lain,” tutup Ponty.

Jeritan Nelayan

Bagi warga Sebubus, mangrove bukan sekadar hutan. Ia jantung kehidupan. Sumber napas ekonomi. Namun setelah pembalakan liar merajalela, kehidupan ikut tercabut.

Hamiri, nelayan dari Dusun Setinggak Asin, merasakan langsung dampaknya. Dulu, ia bisa membawa pulang 20 kilogram hasil tangkap: kepiting, cuyung, kijing. Sekarang, paling banyak satu kilogram.

“Hutan mangrove inilah aset kami. Dari sinilah kami hidup. Kalau dibabat terus, makin habis hasil yang bisa kami cari,” ujarnya lirih.

Janinah, nelayan lainnya, juga mengelus dada. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Bertani tak bisa, karena tak punya kebun. Sementara hasil tangkap turun setelah terjadi pembalakan liar itu.

“Mau kerja apa lagi? Tolonglah, hentikan pembabatan hutan mangrove,” desaknya.

Kerusakan mangrove di Paloh bukan sekadar soal pohon yang tumbang. Tapi juga menggerus pendapatan nelayan.

Pembalakan liar bukan hanya kejahatan lingkungan. Ia juga kejahatan sosial yang mencuri harapan dan penghidupan warga pesisir.

Krisis ini mestinya tak diselesaikan dengan dalih ‘bukan kewenangan’.
Karena ketika laut sepi tangkapan, tak ada yang peduli lagi soal batas peta. Yang dibutuhkan sekarang: tindakan bersama. Bukan garis pembatas.***


Penulis : Antonia Sentia
Editor : Abdul Halikurrahman

Leave a comment

Ok

Berita Populer

Seputar Kalbar