Ketika Limbah Kayu Ulin Diolah Menjadi Karya Seni Warisan Sejarah dan Ladang Cuan
Bagi Agustriadi, setiap bongkahan ulin adalah ingatan. Ia memahatnya ulang. Memberi bentuk baru. Agar warisan tak hilang. Agar orang tahu, kayu yang dulu menegakkan rumah leluhur, kini masih bisa menghiasi ruang-ruang masa depan.
SORE itu, hujan baru saja reda. Menyisakan lembab. Aroma tanah basah bercampur serbuk ulin menyeruak dari sebuah bengkel mebel kecil, di Desa Serimbu---perkampungan yang cukup jauh dari pusat Kabupaten Landak.
Di ruang sudut sempit, Agustriadi tampak fokus. Beberapa potong kayu tergeletak tak beraturan. Bentuknya sudah tak sempurna. Ada yang pecah. Retak. Bahkan berlubang. Mesin pemotong dihidupkan. Berdengung kencang.
Pria paruh baya itu mulai mengolah limbah kayu ulin yang telah berusia puluhan tahun. Gergaji membelah pelan. Mengikuti guratan yang menyimpan makna. Perlahan tapi pasti. Pola perabot yang dirancang mulai berbentuk. Sabar dan tekun jadi kunci.
Limbah-limbah ulin disulap menjadi furnitur bernilai seni. Dari akar bengkok, lahir meja. Dari bongkahan berlubang, tercipta kursi. Elegan. Kuat. Berumur panjang.
Profesi pengrajin kayu sudah belasan tahun digeluti Agus. Sejak 2007, ia berburu limbah ulin di bekas lokasi logging dan pembukaan kebun sawit. Potongan bengkok. Tunggul membatu. Sisa-sisa yang dianggap sampah dikumpulkan.
“Sayang kalau dibiarkan,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Bagi seorang seniman, karya bisa lahir dari apa saja. Pikiran dan kreativitas yang bekerja. Apalagi ulin, kayu yang menyimpan sejarah. Pasti jadi maha karya.
Menjaga Warasian dan Ladang Cuan
Mengolah kayu ulin menjadi karya seni tak sembarangan. Seratnya keras. Itulah sebabnya ia disebut kayu besi. Tapi Agus tahu caranya. Kayu harus dikeringkan dulu. Berbulan-bulan. Agar saat dipahat, tidak pecah.
“Prasyaratnya itu. Jangan buru-buru,” katanya.
Pemotongan harus mengikuti arah serat. Mesti teliti. Sebab, salah sedikit, kayu akan retak. Bisa gagal total. Karena itu, mesin pemotong pun harus khusus.
“Mesin kecil cukup. Yang penting sabar,” lanjutnya.
Rahasia sesungguhnya ada di tahap akhir. Bagian yang menguji jiwa dan gengsi pengrajin. Bukan mesin yang bekerja. Hanya tangan dengan imaji. Agar ukiran, warna gelap alami, lubang, luka, dan garis waktu bisa menyatu membentuk karakter.
“Setiap cacat itu cerita,” ucapnya pelan.
Harga jual hasil karya Agus tak main-main. Satu set meja dan kursi bisa menembus Rp25 juta. Bergantung ukuran dan tingkat kerumitannya.
Sementara perkakas rumah tangga dibanderol Rp100 ribu hingga Rp350 ribu per buah. Pembeli bukan hanya membawa produk. Tapi sepotong sejarah.
Bagi Agus, bisnis ini bukan sekadar uang. Tapi juga bagian dari cara menyelamatkan warisan. Ia ingin generasi nanti tahu----kayu ulin pernah menjaga rumah para leluhur dan tiang peradaban.
Meski kini kayu ulin tersisa hanya potongan-potongan, setidaknya, sisa-sisa itu masih bisa menghiasi ruang tamu dan menyimpan cerita masa lampau.
Mebel kecil milik Agus mungkin tampak biasa. Tetapi dari sana, masa lalu hutan masih bernapas. Ia mengajarkan satu hal: yang dianggap tak berguna dapat menjadi warisan kenangan. (Wahyu)
Penulis : Wahyu
Editor : Abdul Halikurrahman

Leave a comment